Padang, Unidha 19 Oktober 2024. Dialog antara ayah dan anak dalam Al-Quran sering kali menyimpan makna yang lebih dalam daripada apa yang tersurat. Melalui pendekatan pragmatik, kita dapat memahami makna implisit atau implikatur yang tersembunyi dalam percakapan tersebut. Implikatur mengacu pada pesan-pesan tersembunyi yang tidak disampaikan secara langsung, namun dapat ditangkap melalui konteks percakapan. Dalam konteks ini, dialog antara nabi dan anak-anak mereka menyampaikan banyak pelajaran moral, kebijaksanaan, dan kasih sayang.
Misalkan dalam dialog Al-Quran antara Nabi Ibrahim dan ayahnya, Azar, pada Surah Maryam ayat 42-48, kita dapat melihat dengan jelas implikatur yang menggambarkan kesabaran dan kebijaksanaan Nabi Ibrahim saat mencoba mengajak ayahnya untuk meninggalkan penyembahan berhala. Dalam ayat tersebut, Ibrahim mengajukan pertanyaan yang mengandung nasihat lembut kepada ayahnya: ‘Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?’ (Maryam: 42). Dalam pernyataan ini, meskipun Ibrahim mengetahui bahwa tindakannya menyinggung kepercayaan ayahnya, dia tetap menggunakan pendekatan yang penuh hormat dan tidak langsung menuduh. Alih-alih langsung menyatakan kesalahan, Ibrahim memilih untuk bertanya dengan lembut, menunjukkan keprihatinan terhadap keyakinan ayahnya.
Ini menciptakan implikatur pragmatik bahwa meskipun Ibrahim tahu bahwa ajakannya mungkin tidak diterima, dia tetap berusaha dengan penuh kesabaran. Ada juga kebijaksanaan dalam cara Ibrahim menyampaikan pesannya, di mana dia tidak membiarkan emosinya menguasai, meskipun Azar menolak dengan keras dan mengancamnya. Azar menjawab: ‘Apakah engkau benci kepada tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, niscaya aku akan merajammu!’ (Maryam: 46). Implikatur dari dialog ini mengajarkan bahwa dalam situasi di mana perubahan keyakinan sangat sulit dicapai, kesabaran adalah kunci. Ibrahim tidak membalas ancaman tersebut dengan kemarahan atau penghakiman, melainkan memilih untuk mendoakan ayahnya dengan penuh hormat. Ibrahim menjawab: ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu; aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.’) (Maryam: 47). Ini menegaskan bahwa cinta dan rasa hormat kepada orang tua harus tetap dipertahankan bahkan dalam perbedaan pendapat yang mendasar.
Demikian pula, dalam dialog antara Nabi Ya’qub dan anak-anaknya dalam Surah Al-Baqarah ayat 133, implikatur yang muncul mengandung pesan penting tentang ketaatan dan penghormatan terhadap ajaran agama. Dalam dialog ini, Nabi Ya’qub, yang berada di ranjang kematiannya, bertanya kepada anak-anaknya: ‘Apa yang akan kalian sembah setelah aku meninggal?’ (Al-Baqarah: 133). Pertanyaan ini bukan sekadar permintaan informasi, tetapi sebuah bentuk pengajaran dan ujian terakhir untuk memastikan bahwa anak-anaknya tetap setia kepada keyakinan monoteistik. Jawaban anak-anak Ya’qub, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, Tuhan Yang Maha Esa,’ menunjukkan ketaatan mereka yang mendalam dan komitmen untuk meneruskan ajaran yang ditanamkan oleh ayah mereka.
Implikatur dalam dialog ini menunjukkan peran pendidikan agama yang sangat penting dalam membentuk keyakinan dan perilaku generasi berikutnya. Meskipun Ya’qub sudah mengetahui keimanan anak-anaknya, dia tetap menanyakan hal tersebut untuk menekankan pentingnya mengingatkan kembali, apalagi di saat-saat kritis seperti menjelang kematian. Dialog ini tidak hanya menggambarkan hubungan antara ayah dan anak yang didasarkan pada rasa hormat, tetapi juga menunjukkan bahwa keberlanjutan ajaran agama tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan, melainkan juga oleh komitmen moral.
Dialog antara Nabi Nuh dan anaknya dalam Surah Hud ayat 42-43 memberikan contoh yang menarik tentang implikatur dalam komunikasi keluarga di tengah situasi yang menantang. Dalam ayat tersebut, Nabi Nuh mengajak anaknya untuk ikut masuk ke dalam bahtera agar selamat dari banjir besar: ‘Wahai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir‘ (Hud: 42). Namun, anak Nuh menolak dengan berpikir bahwa gunung bisa melindunginya: ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari air bah‘ (Hud: 43). Implikatur dari dialog ini menunjukkan kesombongan dan kesalahpahaman anak Nuh, yang mengira bahwa upaya manusia dapat menentang kehendak Tuhan.
Kasih sayang Nabi Nuh jelas terlihat dalam ajakannya, meskipun anaknya memilih untuk tidak mendengarkan. Implikatur di sini menyoroti bahwa manusia sering kali mengandalkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi masalah, tanpa menyadari keterbatasan mereka di hadapan kehendak Ilahi. Nabi Nuh, yang mengetahui bahwa hanya kehendak Tuhan yang bisa menyelamatkan, tetap mengajak anaknya dengan lembut meskipun tahu anaknya keliru. Ini juga menggambarkan bagaimana seorang ayah yang peduli akan tetap berusaha menyelamatkan anaknya meskipun ada penolakan.
Ketiga contoh dialog ini dari Al-Quran menggambarkan bagaimana implikatur dalam komunikasi bisa memberikan pelajaran penting. Mereka mengajarkan kita pentingnya kesabaran, kebijaksanaan, dan penghormatan dalam berinteraksi, terutama dalam hubungan keluarga. Dari Nabi Ibrahim yang penuh kesabaran dalam menghadapi penolakan ayahnya, hingga Nabi Ya’qub yang menegaskan kembali keyakinan anak-anaknya dengan penuh kehati-hatian, serta kasih sayang Nabi Nuh yang tak tergoyahkan meskipun dihadapkan pada penolakan putranya—semua ini menunjukkan bagaimana implikatur dalam dialog-dialog Al-Quran dapat memberikan kita pelajaran moral yang mendalam tentang komunikasi dan hubungan manusia.
Setiap dialog antara nabi dan anak-anak mereka dalam Al-Quran membawa pelajaran pragmatik yang penting bagi kehidupan sehari-hari. Para nabi menunjukkan bagaimana berbicara dengan kelembutan, kebijaksanaan, dan kasih sayang, bahkan ketika dihadapkan pada penolakan atau ketidakpahaman. Dalam konteks pendidikan, prinsip-prinsip ini sangat relevan. Di universitas, mahasiswa belajar untuk berkomunikasi secara efektif, mempertimbangkan konteks, dan mengatur cara penyampaian pesan mereka agar sesuai dengan situasi yang dihadapi. Prinsip-prinsip ini juga sejalan dengan nilai-nilai budaya Minangkabau yang menekankan pentingnya sopan santun dan etika komunikasi. Pepatah ‘Kok lah hilang Malu jo sopan, bak kayu lungga pangabek’ menegaskan pentingnya menjaga tata krama dalam berbicara, khususnya ketika mengkritik atau memberikan pendapat yang berbeda. Pragmatisme dalam komunikasi tidak hanya membantu mahasiswa menyampaikan pesan dengan baik, tetapi juga membentuk karakter mereka agar lebih bijak dalam berinteraksi dengan sesama, baik di lingkungan akademik maupun di masyarakat.
Melalui analisis implikatur pragmatik, kita dapat memahami bahwa dialog nabi dalam Al-Quran menyimpan berbagai makna tersembunyi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran ini relevan tidak hanya dalam konteks agama, tetapi juga dalam konteks pendidikan dan interaksi sosial. Kemampuan untuk memahami dan menerapkan makna implisit dalam komunikasi adalah keterampilan penting yang harus dimiliki setiap individu, terutama mahasiswa yang sedang membentuk jati diri mereka. Dengan menerapkan pelajaran dari dialog-dialog tersebut, mahasiswa dapat belajar untuk berkomunikasi dengan lebih efektif, bijak, dan penuh rasa hormat dalam berbagai situasi kehidupan (Irsyad).
Kepala Humas Universitas Dharma Andalas